Bank Indonesia (BI) diperkirakan akan mempertahankan suku bunga acuan (BI Rate) di level 5,75 persen dalam Rapat Dewan Gubernur bulan ini. Langkah ini dinilai sebagai strategi untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah di tengah gejolak global yang kian kompleks, mulai dari perang tarif hingga tekanan pada pasar keuangan internasional.
Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menilai kebijakan ini mencerminkan sikap moneter yang pro-stabilitas. Menurutnya, BI lebih mengedepankan penguatan nilai tukar rupiah dibanding mendorong pelonggaran suku bunga di tengah ketidakpastian ekonomi global.
“BI diperkirakan akan mempertahankan BI-rate pada level 5,75 persen yang mengindikasikan kebijakan moneter yang pro-stability mempertimbangkan BI mengutamakan stabilitas nilai tukar di tengah ketidakpastian global yang tinggi akibat perang dagang, tekanan inflasi dari kebijakan tarif AS, serta volatilitas pasar keuangan internasional,” kata Josua kepada kumparan, Selasa (22/4).
Ia menjelaskan, dengan menahan suku bunga di posisi saat ini, BI berupaya menjaga daya tarik aset dalam negeri agar aliran modal asing tetap masuk dan tidak terjadi capital outflow yang bisa memperlemah nilai tukar rupiah secara signifikan. Selain itu, risiko defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) yang berpotensi melebar juga menjadi perhatian utama.
Peningkatan impor sebagai konsekuensi dari agenda pemerintah yang pro-pertumbuhan, ditambah dengan ancaman pelemahan ekspor akibat perang tarif global, membuat ruang pelonggaran suku bunga semakin sempit.
“Pemangkasan suku bunga berisiko memperbesar tekanan defisit transaksi berjalan dan melemahkan stabilitas eksternal, terutama ketika ekspor terancam melemah akibat perang tarif global,” ujarnya.
Senada dengan Josua, Ekonom Senior dan Associate Faculty LPPI, Ryan Kiryanto juga memperkirakan BI akan mempertahankan suku bunga acuan di level 5,75 persen. Ia menyebut, kondisi ekonomi dan geopolitik global saat ini masih penuh ketidakpastian, sementara nilai tukar rupiah juga rentan terhadap sentimen eksternal yang belum stabil.
“Menurut saya dalam situasi dan kondisi ekonomi dan geopolitik global yang sedang tidak baik2 saja, sebaiknya stance kebijakan moneter lebih ke stance pro stabilitas (menjaga kestabilan nilai tukar rupiah) meskipun inflasi domestik relatif rendah,” ujar Ryan.
Ia menyebut, penundaan pengenaan tarif resiprokal oleh pemerintahan Trump selama 90 hari justru memperpanjang ketidakpastian global. Oleh sebab itu, menurutnya BI perlu menerapkan bauran kebijakan yang tepat dan terukur, dengan sikap hawkish terhadap suku bunga acuan dan dovish melalui pelonggaran kebijakan makroprudensial.
“Jadi sikap BI adalah mixed policy (bauran kebijakan) sebagai kebijakan yang tepat, terukur dan preemptive, yaitu hawkish policy (tahan suku bunga acuan atau BI Rate) untuk pro stability dan Read Entire Article