Jakarta, CNBC Indonesia - Pejabat senior Hamas merespon pernyataan terbaru Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump Selasa, yang mengusir warga Palestina dari Gaza. Hal ini semat dikatakan pemimpin 78 tahun tersebut jelang pertemuannya dengan Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu di Washington, sore waktu setempat.
"Kami menganggapnya sebagai resep untuk menciptakan kekacauan dan ketegangan di wilayah tersebut," kata Sami Abu Zuhri dalam sebuah pernyataan dikutip AFP, Rabu (5/2/2024).
"Rakyat kami di Jalur Gaza tidak akan membiarkan rencana ini terlaksana," tambahnya.
"Yang dibutuhkan adalah diakhirinya pendudukan dan agresi terhadap rakyat kami, bukan pengusiran mereka dari tanah mereka."
Hal senada juga dikatakan pejabat senior Hamas lain Izzat al-Rishq. Ia mengkritik Trump atas komentar terbarunya menyebut bagaimana sejauh ini warga Gaza telah bertahan meski perang dilancarkan Israel sejak Oktober 2023 dan memakan korban 61.000 warga tewas.
"Orang-orang kami di Gaza telah menggagalkan rencana pemindahan dan deportasi di bawah pemboman selama lebih dari 15 bulan," kata Rishq dalam pernyataan terpisah.
"Mereka berakar di tanah mereka dan tidak akan menerima skema apa pun yang bertujuan untuk mencabut mereka dari tanah air mereka," ujarnya.
Sebelumnya jelang dengan Netanyahu untuk membahas gencatan senjata fase kedua dengan Hamas, Trump mengatakan warga Palestina akan "senang" meninggalkan tanah air mereka yang dilanda perang di Gaza. Apalagi, kata Trump, jika mereka diberi pilihan pindah ke tempat lain.
"Mereka akan senang meninggalkan Gaza," katanya kepada wartawan saat menandatangani serangkaian inisiatif di Gedung Putih, Selasa, dikutip dari laman yang sama.
"Saya kira mereka akan senang," tambahnya.
"Saya tidak tahu bagaimana mereka bisa ingin tinggal. Itu adalah lokasi 'pembongkaran'."
Ini bukan kali pertama Trump membuat kalimat yang "mengusir" warga Palestina dari Gaza. Sebelumnya, ia menggembar-gemborkan rencana untuk "membersihkan" Gaza, dengan menyerukan warga Palestina untuk pindah ke Mesir atau Yordania.
Kedua negara tersebut dengan tegas menolak hal ini. Bahkan Selasa para pemimpin Arab menekankan perlunya berkomitmen untuk mencapai perdamaian.
"Ya, mereka mungkin mengatakan itu, tetapi banyak orang telah mengatakan hal-hal kepada saya," kata Trump lagi.
"Jika kita dapat menemukan sebidang tanah yang tepat, atau banyak sebidang tanah, dan membangun tempat-tempat yang benar-benar bagus untuk mereka, pasti ada banyak uang di daerah itu, saya pikir itu akan jauh lebih baik daripada kembali ke Gaza, yang baru saja mengalami kematian selama puluhan tahun," ujarnya.
Ia menyinyalir, warga Gaza akan hidup lebih baik di tanah negara lain. Ia pun menyebut pemindahan bisa dibayar oleh negara-negara Arab termasuk Arab Saudi.
"Orang-orang akan tinggal di tempat yang sangat indah, aman, dan menyenangkan. Gaza telah menjadi bencana selama beberapa dekade," klaim Trump.
"Banyak orang yang akan membayar di daerah itu, mereka punya banyak uang," tambahnya.
"Mereka ada di sana karena tidak punya alternatif. Apa yang mereka punya? Sekarang ini hanya tumpukan puing-puing besar.... Saya pikir mereka akan senang melakukannya," katanya.
"Saya pikir mereka akan senang meninggalkan Gaza. Apa itu Gaza?"
Disamakan dengan "Sampah"
Sementara itu, warga Gaza geram dengan pernyataan Trump. Hatem Azzam, warga kota Rafah di Gaza selatan menganggap Trump menyamakan mereka dengan "sampah".
"Trump menganggap Gaza adalah tumpukan sampah," kata pria berusia 34 tahun itu, menyerang pilihan kata Trump saat ia memberi tahu wartawan minggu lalu tentang rencananya.
"Ia berkhayal," tambahnya.
"Trump dan Netanyahu harus memahami realitas rakyat Palestina dan rakyat Gaza. Ini adalah orang-orang yang berakar kuat di tanah mereka. Kami tidak akan pergi."
Di sisi lain, warga Rafah Ihab Ahmed juga menyesalkan pernyataan Trump yang menurutnya "tak memahami rakyat Palestina" dan keterikatan dengan tanah itu. Ia mengatakan bahwa warga Palestina telah memetik pelajaran dari perang 1948 yang terjadi setelah mandat Inggris, ketika ratusan ribu warga Palestina diusir dari rumah mereka saat Israel didirikan, dan tidak pernah diizinkan untuk kembali.
"Kami akan tetap berada di tanah ini apa pun yang terjadi. Bahkan jika kami harus tinggal di tenda-tenda dan di jalanan, kami akan tetap berakar di tanah ini," kata pria berusia 30 tahun itu.
"Dunia harus memahami pesan ini: kami tidak akan pergi, seperti yang terjadi pada tahun 1948."
(sef/sef)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Hati-hati Perang Gaza Membara Lagi, Trump Beri Sinyal Ini
Next Article Dibunuh Israel, Ini Kisah Korban Tewas Tertua dan Termuda di Gaza